Alfriza Rezaldy Research
Jangan tanya apa yang telah negara lakukan untukmu. Tapi tanyakan apa yang telah kau lakukan untuk negaramu. ~ John F. Kennedy
Jumat, 22 Agustus 2014
Biografi Pencipta Lagu Indonesia Raya, W. R. Supratman
Wage Rudolf Supratman
Lahir : Purworejo, 19 Maret 1903
Wafat : Surabaya, 17 Agustus 1938
Makam : Surabaya
SK Presiden : No. 016/TK/1971 tanggal 20 Mei 1971
Wage Rudolf Supratman adalah putra ketujuh dari keluarga Jumeno Senen Sastrosuharjo, seorang instuktur KNIL. Karena keanggotaan ayahnya, ia sering harus berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya sesuai tugas yang diterima ayahnya. Ia lahir pada Jumat Wage sehingga orang tuanya menamainya Wage. Dua bulan setelah kelahirannya, ia dibawa ke Tangsi Meester Cornelis, Jatinegara Jakarta.
Sampai tingkat sekolah dasar, ia tinggal di Jakarta. Namun, ketika ia harus memasuki tingkat yang lebih tinggi, ia pindah ke Ujung Pandang (sekarang Makassar). Ia diangkat anak oleh kakak iparnya, Sersan W.M van Eldik, dan diberi nama tambahan Rudolf , sehingga namanya menjadi Wage Rudolf Supratman. Di tempat baru itu, ia melanjutkan sekolah ke ELS, mempelajari Bahasa Belanda, dan belajar di sekolah guru. Setelah lulus, ia bekerja pada sebuah kantor pengacara. Di tempat baru ini pula, ia belajar bermain biola dan menggubah lagu dari kakak iparnya itu.
Pada tahun 1924, ia kembali ke Jawa. Ia menetap di Bandung dan bekerja sebagai wartawan koran Kaum Muda serta pemain biola pada sebuah orkes kamar biola.
Ia banyak mengungkapkan semangat kebangsaan dan cita - citanya dengan menggubah lagu, antara Mars Kepanduan Bangsa Indonesia, R.A. Kartini, Mars Surya Wirawan, dan Bendera Kita.
Naskah lagu Indonesia Raya untuk pertama kalinya dimuat pada Sin Po edisi dimana ia bekerja. Sejak saat itu, ia terus mengumandangkan kemerdekaan Indonesia melaui lagu ciptaanya itu. Namun demikian, lagu itu harus diungkapkannya dalam permainan biola karena bisa jadi akan dilarang Pemerintah Hindia Belanda.
Pada tanggal 28 Oktober 1928, lagu ciptaannya diterima oleh Kongres Pemuda II setelah diadakan perubahan kecil. Lagu ini kemudian dinyanyikan dalam kongres tersebut. Bahkan setelah lagu gubahannya dinyanyikan dalam berbagai pertemuan politik karena lagu itu di pandang memberika inspirasi kebangsaan dan mempertebal rasa persatuan.
Ketika W.R. Supratman wafat, lagu itu belum menjadi lagu kebangsaan karena ia telah wafat pada 17 Agustus 1938 di Surabaya. Namun demikian, pada sidang PPKI, lagu Indenesia Raya ditetapkan sebagai lagu kebangsaan. Untuk menghormati jasanya, ia angkat menjadi pahlawan nasional pada tanggal 20 Mei 1971.
Kamis, 07 Agustus 2014
Pemilu 1955
Pemilu 1955.
Ini merupakan Pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan Pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut.Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan dipro-klamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan Pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, Pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata Pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab.
Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, Pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa Pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.
Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan Pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan Pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan.
Tidak terlaksananya Pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :
1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu.
2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain, para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi.
Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan Pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelenggarakan Pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warga negara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf. Sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.
Kemudian pada paruh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan Pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan Pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang Pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa Pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.
Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu, sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan Pemilu dengan segala cara. Karena Pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Konstituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.
Ini merupakan Pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan Pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut.Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan dipro-klamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan Pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, Pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata Pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab.
Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, Pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa Pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.
Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan Pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan Pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan.
Tidak terlaksananya Pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :
1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu.
2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain, para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi.
Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan Pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelenggarakan Pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warga negara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf. Sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.
Kemudian pada paruh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan Pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan Pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang Pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa Pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.
Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu, sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan Pemilu dengan segala cara. Karena Pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Konstituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.
Hasil
Pemilu 1955 untuk Anggota DPR.
No.
|
Partai/Nama Daftar
|
Suara
|
%
|
Kursi
|
1.
|
Partai
Nasional Indonesia (PNI)
|
8.434.653
|
22,32
|
57
|
2.
|
Masyumi
|
7.903.886
|
20,92
|
57
|
3.
|
Nahdlatul
Ulama (NU)
|
6.955.141
|
18,41
|
45
|
4.
|
Partai
Komunis Indonesia (PKI)
|
6.179.914
|
16,36
|
39
|
5.
|
Partai
Syarikat Islam Indonesia (PSII)
|
1.091.160
|
2,89
|
8
|
6.
|
Partai
Kristen Indonesia (Parkindo)
|
1.003.326
|
2,66
|
8
|
7.
|
Partai
Katolik
|
770.740
|
2,04
|
6
|
8.
|
Partai
Sosialis Indonesia (PSI)
|
753.191
|
1,99
|
5
|
9.
|
Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
|
541.306
|
1,43
|
4
|
10.
|
Pergerakan
Tarbiyah Islamiyah (Perti)
|
483.014
|
1,28
|
4
|
11.
|
Partai
Rakyat Nasional (PRN)
|
242.125
|
0,64
|
2
|
12.
|
Partai
Buruh
|
224.167
|
0,59
|
2
|
13.
|
Gerakan
Pembela Panca Sila (GPPS)
|
219.985
|
0,58
|
2
|
14.
|
Partai
Rakyat Indonesia (PRI)
|
206.161
|
0,55
|
2
|
15.
|
Persatuan
Pegawai Polisi RI (P3RI)
|
200.419
|
0,53
|
2
|
16.
|
Murba
|
199.588
|
0,53
|
2
|
17.
|
Baperki
|
178.887
|
0,47
|
1
|
18.
|
Persatuan
Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro
|
178.481
|
0,47
|
1
|
19.
|
Grinda
|
154.792
|
0,41
|
1
|
20.
|
Persatuan
Rakyat Marhaen Indonesia (Permai)
|
149.287
|
0,40
|
1
|
21.
|
Persatuan
Daya (PD)
|
146.054
|
0,39
|
1
|
22.
|
PIR
Hazairin
|
114.644
|
0,30
|
1
|
23.
|
Partai
Politik Tarikat Islam (PPTI)
|
85.131
|
0,22
|
1
|
24.
|
AKUI
|
81.454
|
0,21
|
1
|
25.
|
Persatuan
Rakyat Desa (PRD)
|
77.919
|
0,21
|
1
|
26.
|
Partai
Republik Indonesis Merdeka (PRIM)
|
72.523
|
0,19
|
1
|
27.
|
Angkatan
Comunis Muda (Acoma)
|
64.514
|
0,17
|
1
|
28.
|
R.Soedjono
Prawirisoedarso
|
53.306
|
0,14
|
1
|
29.
|
Lain-lain
|
1.022.433
|
2,71
|
-
|
Jumlah
|
37.785.299
|
100,00
|
257
|
Pemilu untuk
anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember 1955. Jumlah kursi
anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki
jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil
pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI
meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan
suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan
anggota DPR. Peserta pemilihan anggota Konstituante yang mendapatkan kursi itu
adalah sebagai berikut:
Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota Konstituante.
No.
|
Partai/Nama Daftar
|
Suara
|
%
|
Kursi
|
|
1.
|
Partai
Nasional Indonesia (PNI)
|
9.070.218
|
23,97
|
119
|
|
2.
|
Masyumi
|
7.789.619
|
20,59
|
112
|
|
3.
|
Nahdlatul
Ulama (NU)
|
6.989.333
|
18,47
|
91
|
|
4.
|
Partai
Komunis Indonesia (PKI)
|
6.232.512
|
16,47
|
80
|
|
5.
|
Partai
Syarikat Islam Indonesia (PSII)
|
1.059.922
|
2,80
|
16
|
|
6.
|
Partai
Kristen Indonesia (Parkindo)
|
988.810
|
2,61
|
16
|
|
7.
|
Partai
Katolik
|
748.591
|
1,99
|
10
|
|
8.
|
Partai
Sosialis Indonesia (PSI)
|
695.932
|
1,84
|
10
|
|
9.
|
Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
|
544.803
|
1,44
|
8
|
|
10.
|
Pergerakan
Tarbiyah Islamiyah (Perti)
|
465.359
|
1,23
|
7
|
|
11.
|
Partai
Rakyat Nasional (PRN)
|
220.652
|
0,58
|
3
|
|
12.
|
Partai
Buruh
|
332.047
|
0,88
|
5
|
|
13.
|
Gerakan
Pembela Panca Sila (GPPS)
|
152.892
|
0,40
|
2
|
|
14.
|
Partai
Rakyat Indonesia (PRI)
|
134.011
|
0,35
|
2
|
|
15.
|
Persatuan
Pegawai Polisi RI (P3RI)
|
179.346
|
0,47
|
3
|
|
16.
|
Murba
|
248.633
|
0,66
|
4
|
|
17.
|
Baperki
|
160.456
|
0,42
|
2
|
|
18.
|
Persatuan
Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro
|
162.420
|
0,43
|
2
|
|
19.
|
Grinda
|
157.976
|
0,42
|
2
|
|
20.
|
Persatuan
Rakyat Marhaen Indonesia (Permai)
|
164.386
|
0,43
|
2
|
|
21.
|
Persatuan
Daya (PD)
|
169.222
|
0,45
|
3
|
|
22.
|
PIR
Hazairin
|
101.509
|
0,27
|
2
|
|
23.
|
Partai
Politik Tarikat Islam (PPTI)
|
74.913
|
0,20
|
1
|
|
24.
|
AKUI
|
84.862
|
0,22
|
1
|
|
25.
|
Persatuan
Rakyat Desa (PRD)
|
39.278
|
0,10
|
1
|
|
26.
|
Partai
Republik Indonesis Merdeka (PRIM)
|
143.907
|
0,38
|
2
|
|
27.
|
Angkatan Comunis
Muda (Acoma)
|
55.844
|
0,15
|
1
|
|
28.
|
R.Soedjono
Prawirisoedarso
|
38.356
|
0,10
|
1
|
|
29.
|
Gerakan
Pilihan Sunda
|
35.035
|
0,09
|
1
|
|
30.
|
Partai
Tani Indonesia
|
30.060
|
0,08
|
1
|
|
31.
|
Radja
Keprabonan
|
33.660
|
0,09
|
1
|
|
32.
|
Gerakan
Banteng Republik Indonesis (GBRI)
|
39.874
|
0,11
|
||
33.
|
PIR NTB
|
33.823
|
0,09
|
1
|
|
34.
|
L.M.Idrus
Effendi
|
31.988
|
0,08
|
1
|
|
lain-lain
|
426.856
|
1,13
|
|||
Jumlah
|
37.837.105
|
514
|
Periode Demokrasi Terpimpin.
Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan Pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II.
Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang – meminjam istilah Prof. Ismail Sunny -- sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.
Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.
Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemilihan, memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah terkooptasi-nya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR neben atau sejajar dengan presiden.
Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan berkala.
Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan Pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II.
Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang – meminjam istilah Prof. Ismail Sunny -- sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.
Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.
Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemilihan, memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah terkooptasi-nya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR neben atau sejajar dengan presiden.
Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan berkala.
Sumber : KPU
Langganan:
Postingan (Atom)